Rabu, 05 Januari 2011

KONSEP DASAR FRAKTUR

Definisi fraktur
Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang dan/atau tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa. Trauma yang menyebabkan tulang patah dapat berupa trauma langsung, misalnya benturan pada lengan bawah yang menyebabkan fraktur radius dan ulna, dan dapat berupa trauma tidak langsung, misalnya jatuh bertumpu pada tangan yang menyebabkan tulang klavikula atau radius distal patah.
Akibat trauma pada tulang bergantung pada jenis trauma, kekuatan, dan arahnya. Trauma tajam yang langsung atau trauma tumpul yang kuat dapat menyebabkan tulang patah dengan luka terbuka sampai ke tulang yang disebut fraktur terbuka. Fraktur di dekat sendi atau mengenai sendi dapat menyebabkan fraktur disertai luksasi sendi yang disebut fraktur dislokasi.
Klasifikasi Fraktur
Secara umum, fraktur dapat dibagi menjadi 2, berdasarkan ada tidaknya hubungan antara tulang yang fraktur dengan dunia luar, yaitu fraktur tertutup dan fraktur terbuka. Disebut fraktur tertutup apabila kulit di atas tulang yang fraktur masih utuh. Tetapi apabila kulit di atasnya tertembus maka disebut fraktur terbuka, yang memungkinkan kuman dari luar dapat masuk ke dalam luka sampai ke tulang yang patah.
Fraktur terbuka dibagi menjadi 3 derajat yang ditentukan oleh berat ringannya luka dan berat ringannya fraktur.
Derajat
Luka
Fraktur
I
Laserasi < 2 cm
Sederhana, dislokasi fragmen minimal
II
Laserasi > 2 cm, kontusio otot di sekitarnya
Dislokasi fragmen jelas
III
Luka lebar, rusak hebat atau hilangnya jaringan di sekitarnya
Kominutif, segmental, fragmen tulang ada yang hilang
Fraktur juga dapat dibagi menurut garis frakturnya. Beberapa diantaranya adalah fisura, fraktur sederhana, fraktur kominutif, fraktur segmental, fraktur dahan hijau (greenstick), fraktur impaksi, fraktur kompresi, impresi, dan patologis Fisura merupakan fraktur yang disebabkan oleh cedera tunggal hebat atau oleh cedera terus menerus yang cukup lama, seperti juga ditemukan pada retak stress pada struktur logam. Pada fraktur dahan hijau (greenstick), periosteum tetap utuh. Fraktur kompresi bisa terjadi akibat kekuatan besar pada tulang pendek atau epifisis tulang pipa.
fracture type
Berdasarkan lokasinya, fraktur dapat mengenai bagian proksimal (plateau), diaphyseal (shaft), maupun distal. Berdasarkan proses osifikasinya, tulang panjang terdiri dari bagian diafisis (corpus/shaft) yang berasal dari pusat penulangan sekunder. Epifisis ini terletak di kedua ujung tulang panjang. Bagian dari diaphysis yang terletak paling dekat dengan epifisis disebut metafisis, yaitu bagian dari korpus tulang yang melebar. Fraktur dapat terjadi di 3 bagian ini.
Berpindahnya fragmen tulang dari tempatnya semula disebut displacement. Displacement ini dibagi menjadi 4, yaitu :
1. Aposisi
Aposisi merupakan suatu keadaan dimana fragmen tulang mengalami perubahan letak sehingga terjadi perubahan dalam kontak antara fragmen tulang proksimal dan distal. Pada pemeriksaan radiologik, aposisi dinyatakan dalam persentase kontak antara fragmen proksimal dan distal. Jadi, misalnya dari hasil pemeriksaan rontgen terlihat bahwa tidak ada kontak sama sekali antara permukaan fragmen proksimal dengan distal maka dinyatakan aposisi 0%, disebut juga aposisi komplet. Kalau kontak masih terjadi disebut aposisi parsial, misalnya aposisi 80%, berarti 80% permukaan fragmen proksimal masih kontak dengan fragmen distal.
2. Alignment
Alignment merupakan suatu kondisi miringnya fragmen tulang panjang sehingga arah aksis longitudinalnya berubah. Apabila antara aksis longitudinal fragmen proksimal dan distal membentuk sudut maka disebut angulasi. Pada pemeriksaan radiologi, angulasi ini dinyatakan dalam derajat.
3. Rotasi
Rotasi adalah berputarnya fragmen tulang pada aksis longitudinalnya, misalnya fragmen distal mengalami perputaran terhadap fragmen proksimal.
4. Length (panjang)
Length dapat dibagi menjadi 2, yaitu overlapping (tumpang tindihnya tulang) yang menyebabkan pemendekan (shortening) tulang serta distraksi yang menyebabkan tulang memanjang.
Ada jenis fraktur yang patahnya tidak disebabkan oleh trauma, tetapi disebabkan oleh adanya proses patologis, misalnya tumor, infeksi, atau osteoporosis tulang. Ini disebabkan oleh kekuatan tulang yang berkurang, dan disebut fraktur patologis.
Ada juga fraktur, yang biasanya berbentuk fisura, yang disebabkan oleh beban lama atau trauma ringan yang terus menerus yang disebut fraktur kelelahan. Hal ini misalnya terjadi pada tungkai bawah di tibia atau tulang metatarsus pada tentara, penari, atau olahragawan yang sering berbaris atau berlari. Akan tetapi, fisura tulang lebih sering disebabkan cedera.
Sehubungan dengan patofisiologi dan perjalanan penyakitnya, fraktur juga dibagi atas dasar usia pasien, yaitu fraktur pada anak-anak, fraktur pada orang dewasa, dan fraktur pada orang tua. Pola anatomis kejadian fraktur dan penanganannya pada ketiga golongan umur tersebut berbeda. Orang tua lebih sering menderita fraktur pada tulang yang osteoporotic, seperti vertebra atau kolum femur; orang dewasa lebih banyak menderita fraktur tulang panjang, sedangkan anak jarang menderita robekan ligament. Penanganan fraktur pada anak membutuhkan pertimbangan bahwa anak masih tumbuh. Selain itu, kemampuan penyembuhan anak lebih cepat dan karena itulah pemendekan serta perubahan bentuk akibat patah lebih dapat ditoleransi pada anak. Pemendekan dapat ditoleransi karena pada anak terdapat percepatan pertumbuhan tulang panjang yang patah. Perubahan bentuk dapat ditoleransi karena anak mempunyai daya penyesuaian bentuk yang lebih besar.
Satu bentuk fraktur yang khusus pada anak adalah fraktur yang mengenai cakram pertumbuhan. Fraktur yang mengenai cakram epifisis ini perlu mendapat perhatian khusus karena dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan. Fraktur cakram epifisis ini dibagi menjadi lima tipe.
Tipe 1
Epifisis dan cakram epifisis lepas dari metafisis, tetapi periosteumnya masih utuh
Tipe 2
Periosteum robek di satu sisi sehingga epifisis dan cakram epifisis lepas sama sekali dari metafisis
Tipe 3
Fraktur cakram epifisis yang melalui sendi
Tipe 4
Terdapat fragmen fraktur yang garis patahannya tegak lurus cakram epifisis
Tipe 5
Terdapat kompresi pada sebagian cakram epifisis yang menyebabkan kematian dari sebagian cakram tersebut
Diagnosis Fraktur
Pemeriksaan untuk menentukan ada atau tidaknya patah tulang terdiri atas empat langkah: tanyakan (anamnesis, adakah cedera khas), lihat (inspeksi, bandingkan kiri dan kanan), raba (analisis nyeri), dan gerakan (akif dan/atau pasif).
1. Riwayat pasien
Sering kali pasien datang sudah dengan keluhan bahwa tulangnya patah karena jelasnya keadaan patah tulang tersebut bagi pasien. Sebaliknya juga mungkin, fraktur tidak disadari oleh penderita dan mereka datang dengan keluhan keseleo, terutama patah yang disertai dislokasi fragmen yang minimal. Dalam persepsi penderita trauma tersebut bisa dirasa berat meskipun sebenarnya ringan, sebaliknya bisa dirasakan ringan meskipun sebenarnya berat.
Diagnosis fraktur juga dimulai dengan anamnesis adanya trauma tertentu, seperti jatuh, terputar, tertumbuk, dan berapa kuatnya trauma tersebut. Anamnesis dilakukan untuk menggali riwayat mekanisme cedera (posisi kejadian) dan kejadian-kejadian yang berhubungan dengan cedera tersebut. Selain riwayat trauma, biasanya didapati keluhan nyeri meskipun fraktur yang fragmen patahannya stabil, kadang tidak menimbulkan keluhan nyeri. Banyak fraktur mempunyai cedera yang khas.
Perlu ditanyakan mengenai keluhan penderita dan lokasi keluhannya. Keluhan klasik fraktur komplet adalah sakit, bengkak, deformitas, dan penurunan fungsi. Sakit akan bertambah apabila bagian yang patah digerakkan. Deformitas fraktur harus dijelaskan dengan lengkap. Kita harus mengetahui bagaimana terjadinya kecelakaan, tempat yang terkena dan kemungkinan adanya faktor presipitasi fraktur (misal, tumor tulang, dll). Untuk itu, perlu ditanyakan riwayat pasien sebelumnya, apakah pasien mengalami osteoporosis, hipertensi, mengkonsumsi kortikosteroid, dll. Perlu pula diketahui riwayat cedera atau fraktur sebelumnya, riwayat sosial ekonomi, pekerjaan, obat-obatan yang dikonsumsi, merokok, riwayat alergi, dan riwayat osteoporosis serta penyakit lain.
2. Pemeriksaan fisik
a. Inspeksi / look
Pada pemeriksaan fisik mula-mula dilakukan inspeksi dan terlihat adanya asimetris pada kontur atau postur, pembengkakan, dan perubahan warna local. Pasien merasa kesakitan, mencoba melindungi anggota badannya yang patah, terdapat pembengkakan, perubahan bentuk berupa bengkok, terputar, pemendekan, dan juga terdapat gerakan yang tidak normal. Adanya luka kulit, laserasi atau abrasi, dan perubahan warna di bagian distal luka meningkatkan kecurigaan adanya fraktur terbuka. Pasien diinstruksikan untuk menggerakkan bagian distal lesi, bandingkan dengan sisi yang sehat.
b. Palpasi / feel
Nyeri yang secara subyektif dinyatakan dalam anamnesis, didapat juga secara objektif pada palpasi. Nyeri itu berupa nyeri tekan yang sifatnya sirkuler dan nyeri tekan sumbu pada waktu menekan atau menarik dengan hati-hati anggota badan yang patah searah dengan sumbunya. Keempat sifat nyeri ini didapatkan pada lokalisasi yang tepat sama.
Status neurologis dan vaskuler di bagian distalnya perlu diperiksa. Lakukan palpasi pada daerah ekstremitas tempat fraktur tersebut, meliputi persendian diatas dan dibawah cedera, daerah yang mengalami nyeri, efusi, dan krepitasi. Neurovaskularisasi yang perlu diperhatikan pada bagian distal fraktur diantaranya, pulsasi arteri, warna kulit, pengembalian cairan kapiler (capillary refill test), sensibilitas.
Palpasi harus dilakukan di sekitar lesi untuk melihat apakah ada nyeri tekan, gerakan abnormal, kontinuitas tulang, dan krepitasi. Juga untuk mengetahui status vaskuler di bagian distal lesi. Keadaan vaskuler ini dapat diperoleh dengan memeriksa warna kulit dan suhu di distal fraktur. Pada tes gerakan, yang digerakkan adalah sendinya. Jika ada keluhan, mungkin sudah terjadi perluasan fraktur.
c. Gerakan / moving
Gerakan antar fragmen harus dihindari pada pemeriksaan karena menimbulkan nyeri dan mengakibatkan cedera jaringan. Pemeriksaan gerak persendian secara aktif termasuk dalam pemeriksaan rutin fraktur. Gerakan sendi terbatas karena nyeri, akibat fungsi terganggu (Loss of function).
3. Pemeriksaan penunjang
Pada pemeriksaan radiologis dengan pembuatan foto Rontgen dua arah 90o didapatkan gambaran garis patah. Pada patah yang fragmennya mengalami dislokasi, gambaran garis patah biasanya jelas. Dalam banyak hal, pemeriksaan radiologis tidak dimaksudkan untuk diagnostik karena pemeriksaan klinisnya sudah jelas, tetapi untuk menentukan pengelolaan yang tepat dan optimal. Sehingga pemeriksaan radiologi untuk fraktur ini dapat digunakan untuk diagnosis, konfirmasi diagnosis dan perencanaan terapi, serta untuk mengetahui prognosis trauma.
Pada tulang, panjang persendian proksimal maupun yang distal harus turut difoto. Bila ada kesangsian atas adanya fraktur atau tidak, sebaiknya dibuat foto yang sama dari anggota gerak yang sehat untuk perbandingan. Bila tidak diperoleh kepastian adanya kelainan, seperti fisura, sebaiknya foto diulang setelah satu minggu, retak akan menjadi nyata karena hiperemia setempat sekitar tulang yang retak itu akan tampak sebagai “dekalsifikasi”.
Radiologis untuk lokasi fraktur harus menurut “rule of two”, terdiri dari :
a. Memuat 2 gambaran, anteroposterior (AP) dan lateral
b. Memuat 2 sendi di proksimal dan distal fraktur
c. Memuat gambaran foto 2 ekstremitas, yaitu ekstremitas yang tidak terkena cedera (pada anak)
d. Dilakukan foto sebanyak 2 kali, yaitu sebelum tindakan dan sesudah tindakan
Penatalaksanaan Fraktur
Pengelolaan fraktur secara umum mengikuti prinsip pengobatan kedokteran pada umumnya, yaitu yang pertama dan utama adalah jangan cederai pasien (primum non nocere). Cedera iatrogen tambahan pada pasien terjadi akibat tindakan yang salah dan/atau tindakan yang berlebihan. Yang kedua, pengobatan didasari atas diagnosis yang tepat dan prognosisnya. Ketiga, bekerja sama dengan hukum alam, dan keempat, memilih pengobatan dengan memperhatikan setiap pasien secara individu.
Enam prinsip umum pengobatan fraktur
1. Jangan membuat keadaan lebih jelek
2. Pengobatan berdasarkan atas diagnosis dan prognosis yang akurat
3. Seleksi pengobatan dengan tujuan khusus
a. Menghilangkan nyeri
b. Memperoleh posisi yang baik dari fragmen
c. Mengusahakan terjadinya penyambungan tulang
d. Mengembalikan fungsi secara optimal
4. Mengingat hukum-hukum penyembuhan secara alami
5. Bersifat realistik dan praktis dalam memilih jenis pengobatan
6. Seleksi pengobatan sesuai dengan penderita secara individual
Untuk frakturnya sendiri, prinsipnya adalah mengembalikan posisi patahan tulang ke posisi semula (reposisi) dan mempertahankan posisi itu selama masa penyembuhan fraktur (imobilisasi). Reposisi yang dilakukan tidak harus mencapai keadaan sepenuhnya seperti semula karena tulang mempunyai kemampuan untuk menyesuaikan bentuknya kembali seperti bentuk semula (remodeling/proses swapugar). Kelayakan reposisi suatu dislokasi fragmen ditentukan oleh adanya dan besarnya dislokasi ad aksim, ad peripheriam, dan kum kontraktione, yang berupa rotasi, atau perpendekan.
Secara umum, angulasi dalam bidang gerak sendi sampai kurang lebih 20-30 derajat akan dapat mengalami swapugar, sedangkan angulasi yang tidak dalam bidang gerak sendi tidak akan mengalaminya. Akan tetapi, rotasi antara 2 fragmen tidak pernah terkoreksi sendiri oleh proses swapugar. Ada tidaknya rotasi fragmen tidak dapat diketahui dari foto Rontgen, melainkan harus diketahui dari pemeriksaan klinis. Cara yang termudah untuk memeriksa rotasi ini adalah dengan membandingkan rotasi anggota yang patah dengan rotasi anggota yang sehat. Pemendekan anggota yang patah disebabkan oleh tarikan tonus otot sehingga fragmen patahan tulang berada sebelah menyebelah. Pemendekan anggota atas pada orang dewasa dan pemendekan pada anggota atas maupun bawah pada anak, umumnya tidak menimbulkan masalah.
Macam-macam cara untuk penanganan fraktur :
1. Proteksi tanpa reposisi dan imobilisasi
Digunakan pada penanganan fraktur dengan dislokasi fragmen patahan yang minimal atau dengan dislokasi yang tidak akan menyebabkan kecacatan di kemudian hari. Contoh cara ini adalah fraktur costa, fraktur clavicula pada anak, dan fraktur vertebra dengan kompresi minimal.
2. Imobilisasi dengan fiksasi
Dapat pula dilakukan imobilisasi luar tanpa reposisi, tetapi tetap memerlukan imobilisasi agar tidak terjadi dislokasi fragmen. Contoh cara ini adalah pengelolaan fraktur tungkai bawah tanpa dislokasi yang penting.
3. Reposisi dengan cara manipulasi diikuti dengan imobilisasi
Ini dilakukan pada fraktur dengan dislokasi fragmen yang berarti seperti pada fraktur radius distal.
4. Reposisi dengan traksi
Dilakukan secara terus menerus selama masa tertentu, misalnya beberapa minggu, dan kemudian diikuti dengan imobilisasi. Ini dilakukan pada fraktur yang bila direposisi secara manipulasi akan terdislokasi kembali di dalam gips. Cara ini dilakukan pada fraktur dengan otot yang kuat, misalnya fraktur femur.
5. Reposisi diikuti dengan imobilisasi dengan fiksasi luar
Untuk fiksasi fragmen patahan tulang, digunakan pin baja yang ditusukkan pada fragmen tulang, kemudian pin baja tadi disatukan secara kokoh dengan batangan logam di luar kulit. Alat ini dinamakan fiksator ekstern.
6. Reposisi secara non operatif diikuti dengan pemasangan fiksasi dalam pada tulang secara operatif
Misalnya reposisi fraktur collum femur. Fragmen direposisi secara non-operatif dengan meja traksi, setelah tereposisi, dilakukan pemasangan pen ke dalam collum femur secara operatif.
7. Reposisi secara operatif diikuti dengan fiksasi patahan tulang dengan pemasangan fiksasi interna
Ini dilakukan misalnya, pada fraktur femur, tibia, humerus, atau lengan bawah. Fiksasi interna yang dipakai bisa berupa pen di dalam sumsum tulang panjang, bisa juga berupa plat dengan sekrup di permukaan tulang. Keuntungan reposisi secara operatif adalah bisa dicapai reposisi sempurna dan bila dipasang fiksasi interna yang kokoh, sesudah operasi tidak perlu lagi dipasang gips dan segera bisa dilakukan mobilisasi. Kerugiannya adalah reposisi secara operatif ini mengundang resiko infeksi tulang.
8. Eksisi fragmen fraktur dan menggantinya dengan prosthesis
Dilakukan pada fraktur collum femur. Caput femur dibuang secara operatif dan diganti dengan prostesis. Ini dilakukan pada orang tua yang patahan pada collum femur tidak dapat menyambung kembali.
Pengelolaan fraktur terbuka perlu memperhatikan bahaya terjadinya infeksi, baik infeksi umum (bakteremia) maupun infeksi terbatas pada tulang yang bersangkutan (osteomyelitis). Untuk menghindarinya perlu ditekankan disini pentingnya pencegahan infeksi sejak awal pasien masuk rumah sakit, yaitu perlu dilakukannya debridement yang adekuat sampai ke jaringan yang vital dan bersih. Diberikan pula antibiotik profilaksis selain imunisasi tetanus. Selain itu, lakukan fiksasi yang kokoh pada fragmen fraktur. Dalam hal ini, fiksasi dengan fiksator eksterna lebih baik daripada fiksasi interna.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar